Penjara Cinta Sang Taipan. Bab 9

 


Bab. 9

Ayah tiri.


"Bodoh, kenapa sayur ini asin sekali!"

Tiba-tiba Sandra membanting semangkuk kuah sayur yang baru saja dimasak Bening ke lantai hingga hancur.

"Maaf Bu tapi tadi-"

"Diam! Makanan seperti itu yang ingin kau berikan padaku, Hah!"

"Tapi tadi Bening sudah mencicipinya dan rasanya sudah enak Bu!"

"Kau ini bisa sekali membantahku. Kau pikir lidahku yang bermasalah, begitu?! Katakan!" Sandra pun berdiri dan menarik rambut Bening dengan begitu kuat hingga gadis itu merintih kesakitan.

"Ampun Bu, maafkan Bening. Sakit Bu, tolong lepas!"

"Lepas kau bilang. Rasakan ini!" Sandra semakin mengeratkan genggaman tangannya di rambut Bening. Hingga gadis itu merasa rambutnya akan lepas dari kulit kepala.

"Aww, sakit Bu. Ampun!" Rintihan kesakitan Bening sama sekali tidak membuat Sandra merasa iba.

"Makanya kalo kerja yang bener. Masak saja tidak becus kau. Apa memang kau sengaja membuatku marah sampai aku harus menyiksamu. Sehingga kau bisa bebas mengaduh kepada orang di luar sana. Benar begitu, Sialan?!"

"Tidak Bu semua itu tidak benar. Bening tidak pernah mengaduh kepada siapapun. Bening berani bersumpah tidak pernah melakukannya."

"Sudah lah Sayang, lepaskan dia. Kau bisa membunuhnya!" Edi suami baru Sandra mulai membuka suara setelah sekian lama hanya menjadi penonton drama Ibu dan anak itu.

"Jangan membelanya, Mas. Aku akan memberinya pelajaran!"

"Tidak Sayang aku tidak membelanya. Justru karena aku peduli padamu sehingga aku menyuruhmu untuk melepaskannya. Karena jika terjadi apa-apa dengannya warga sekitar pasti akan menyalahkanmu. Jadi lepaskan ya!" bujuk sang suami.

Perlahan Sandra pun melepaskan tangannya dari rambut Bening.

"Ayo kita ke kamar Sayang!" 

Sebelum Beranjak dari tempat itu Edi sempat membisikkan sesuatu kepada Bening-

"Kau berhutang padaku!"

Setelah itu Edi membawa Sandra masuk ke dalam kamar. Namun sebelum mereka bener-benar masuk Edi tampak memberikan kerlingan nakal kepada anak tirinya itu.


*****


Keesokan paginya, suara kokok ayam jantan bersahut-sahutan, adzan subuh pun sudah berkumandang. Bening harus memulai harinya dengan semangat baru. 


Ya, gadis itu sudah terbiasa menyemangati dirinya sendiri. Karena mulai hari ini ia akan kembali bekerja di kebun Pak lurah.

"Ayah! Apa yang Ayah lakukan di sini?!" pekik Bening.

Gadis itu terlihat sangat terkejut saat tiba-tiba ada sebuah tangan yang menyentuh pundaknya. Refleks, ia pun memundurkan tubuhnya ke belakang.

"Tidak ada apa-apa, Ayah hanya ingin membantumu saja?" 

Tatapan mata lapar nan menjijikkan itu kembali Bening lihat dari mata pria kurang ajar itu. Ia seperti ingin menerkam gadis polos yang kini berada di hadapannya.

"Terima kasih tapi aku tidak butuh bantuanmu. Mending sekarang Ayah masuk kamar saja dan temani Ibu!" usir Bening.

"Anak gadis ku kalo lagi marah cantik juga ya ternyata. Tapi aku lebih suka menemanimu disini, Sayang!" Kata-kata yang keluar dari mulut pria itu sungguh membuat Bening bertambah muak saja.

"Maaf, tapi aku bukan anakmu. Aku menerimamu di sini hanya untuk menghormati Ibuku!" ketus Bening.

"Mas, kamu ngapain disini berduaan sama Bening?!" tanya Sandra yang tiba-tiba saja muncul di dapur.

Mereka berdua berjingkat kaget saat mendapati Sandra sudah berdiri di belakang mereka. 

'Semoga saja Ibu tidak mendengar percakapan kami tadi. Karena aku tidak mau membuat Ibu kecewa.' Bening membatin.

"Oh, ini Sayang tadi aku haus tapi tidak ada minuman di dalam kamar. Jadi aku ke sini untuk mengambilnya," jawab pria itu gelagapan, dengan menunjuk gelas kosong yang terletak di atas nakas yang ada di sebelah kirinya.

Untunglah Sandra percaya dengan alasan yang dibuat oleh suami barunya itu. Hingga membuat Bening merasa lega.


"Lebih baik kita kembali saja ke kamar Sayang. Kamu masih mengantuk 'kan?"

"Temani aku ya Mas!"

Tentu donk Sayang!"

Sepasang suami istri baru itu pun meninggalkan Bening sendirian di dapur.

Pagi ini Bening akan memulai aktifitasnya dengan berkerja di kebun Pak Lurah. Tapi sebelum itu ia harus memastikan semua pekerjaan rumah telah beres dan kebutuhan sang Ibu telah terpenuhi.

Saat sedang fokus melakukan pekerjaannya suara Dewi terdengar memanggil namanya dari luar halaman.

"Assalamualaikum, Bening!" Dewi datang menjemput Bening ke rumah, agar mereka bisa berangkat bekerja bersama.

"Wa'alaikum salam." Bening pun segera keluar untuk menemui sahabatnya itu.

"Berangkat sekarang yuk, Wi! Biar kita nggak telat," ajak Bening sembari menutup pintu rumahnya.

"Ayuk lah," jawab Dewi penuh semangat.

Dewi adalah tipe gadis ceria dan mudah bergaul. Sangat jauh berbeda dengan Bening, yang cenderung pendiam. Dan merupakan sahabat sekaligus tetangga Bening. Apalagi mereka bekerja di tempat yang sama sebagai buruh pemetik cabai di kebun milik Pak lurah. Dewi memang sedikit kurang beruntung dibanding dengan Bening, karena Dewi hanya mampu menamatkan pendidikan sampai tingkat SMP saja. Dan terkendala biaya adalah masalahnya.

"Pagi Bu Mina," sapa mereka berdua saat berpapasan dengan tetangganya itu.

"Pagi Ning, pagi Dewi. Mau berangkat kerja ya kalian?" tanya Bu Mina kemudian.

"Iya Bu," jawab mereka berdua.

"Ya sudah. Semangat ya kalian kerjanya!" ujar Bi Mina menyemangati.

"Pasti Bu, permisi," jawab kedua gadis itu.

Kedua gadis itu pun berjalan menuju kebun Pak lurah dengan diiringi canda tawa. Dengan sesekali menyapa tetangga yang kebetulan berpapasan dengan mereka di sepanjang perjalanan. Membutuhkan sekitar waktu 15 menit untuk sampai di kebun milik Pak lurah dengan berjalan kaki.

"Ning, kayaknya Mas Galih suka deh sama kamu," ucap Dewi memulai obrolan.

"Hele, jangan ngawur kamu, Wi. Itu mah nggak mungkin," sangkal Bening.

"Kenapa nggak mungkin. Lawong, aku lihat sendiri kok gimana perhatiannya Mas Galih sama kamu."

"Di luar sana masih banyak gadis yang lebih cantik dan juga sederajat dengannya. Jadi tidak sepadan denganku yang cuma buruh pemetik cabe di kebun milik Ayahnya."

"Ish, kamu Ning. Kalo dibilangin nggak pernah mau percaya!" kesal Dewi.

"Itu karena aku tahu diri, Wi. Perbedaan kita bagai bumi dan langit."

"Tapi kalo Tuhan sudah menggariskan Mas Galih jadi jodohmu, bagaimana?"

"Ishh, apa sih. Yuk ah cepet jalannya!" Bening pun mempercepat langkahnya karena tidak ingin melanjutkan obrolannya.

Sesampainya di kebun cabai. Bening dan Dewi segera masuk ke dalam gubuk kecil, tempat penyimpanan alat-alat yang biasa digunakan pekerja untuk melakukan pekerjaannya. Mereka mengambil caping dan wadah yang terbuat dari anyaman bambu sebagai tempat dari hasil memanen. Kemudian mengambil posisi masing-masing sesuai lokasi di mana mereka akan memanen cabai, karena kebun ini sangat lah luas.

"Bening ...!" Panggilan seseorang menghentikan kegiatannya memetik cabai. Ia pun menoleh ke arah sumber suara guna melihat siapa orang yang telah menyebut namanya tadi.

"Mas Galih, ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya Bening sopan.

"Bisa kita bicara sebentar?" tanya pemuda tampan berkulit sawo matang yang kini berdiri di hadapan Bening.

"Ehm tapi-" ucap Bening ragu-ragu.

"Sebentar saja, lagi pula sepuluh menit lagi waktunya kamu istirahat 'kan?" Pemuda itu tampak sedikit memaksa.

Bening pun akhirnya mengangguk mengiyakan.

"Kita duduk di saung itu yuk!" ajak Galih.

Mereka pun menuju saung yang berada di tengah perkebunan cabai. Biasanya saung itu digunakan oleh para pekerja perkebunan untuk beristirahat. Bening hanya mengekori Galih dari belakang tanpa bersuara karena ia sendiri pun tidak mengerti apa sebenarnya yang diinginkan oleh anak pemilik perkebunan tempat dirinya bekerja itu.


*****


Sementara itu di tempat lain. Tepatnya di sebuah pondok kecil menyerupai warung remang-remang yang berada di pinggiran desa.


"Sial gue kalah lagi!" Seorang pria membanting kartu di tangannya. Sepertinya pria itu sedang mabuk.

"Gue denger loe punya bini baru ya? Cantik nggak bini baru loe itu?" tanya pria asing yang sudah beberapa kali mengalahkan dirinya dalam berjudi.

"Bini gue cantik, tapi masih cantikan anak tiri gue, bodinya bikin gue ngiler!" racaunya karena efek minuman beralkohol yang diminumnya.

"Gue anggap semua hutang loe sama gue lunas, kalo loe bersedia ngasih anak tiri loe buat gue. Gimana?!" tawarnya.

"Gue juga mau anak tiri gue, Bangsat. Gue mau pake sendiri!" hardik pria mabuk itu.

"Kesempatan terakhir, serahkan anak tiri loe dan hutang loe lunas beserta bunganya. Atau elu mati di tangan anak buah gue! Elo pilih mana?!"

"Oke malam ini loe ikut ke rumah gue, mumpung bini gue lembur." Jawaban itu membuat pria yang duduk di depannya saat ini menyeringai lebar.

0 Comments