Penjara Cinta Sang Taipan. Bab 8



 Bab. 8

Kebencian Ibu.



"Ibu?!"

Bening kaget karena Ibunya tiba-tiba datang dan menyiramkan seember air kepadanya yang membuat sekujur tubuh dan kasurnya basah.

"I-ibu ada apa. Kenapa-?" 

"Bangun pemalas! Siapa yang menyuruhmu bermalas-malasan seperti ini, Hah?!"

"Tapi Bu, Bening sedang tidak enak badan."

"Dasar pemalas kau! Tidak usah banyak alasan, kau bukan majikan di rumah ini. Berani-beraninya kau melalaikan tugasmu. Lihat lah rumah berantakan, cucian menumpuk di belakang dan meja makan masih kosong tidak ada makanan. Tapi kau malah enak-enakan tidur. Apa kau ingin melihatku mati kelaparan?!"

"Tidak Bu, Bening tidak berbohong Bening memang sedang-"


"Sudah ku katakan jangan banyak alasan. Ingat ya Bening aku sangat menyesal melahirkanmu di dunia ini. Jadi jangan berharap bisa mendapat simpati dari ku dengan berpura-pura sakit. Cepat bangun dan siapkan makanan. Aku sudah sangat lapar!"

"Maaf Bu tapi selesai solat subuh tadi Bening sudah masak. Dan sudah Bening simpan di lemari dapur."

"Maksudmu kau menyuruhku mengambilnya sendiri begitu? Dasar anak tidak tahu diri! Sudah untung aku tidak mengusirmu dari rumah ini. Jadi jangan ngelunjak kau Bening dan apa kau juga berniat meracuniku dengan makanan dingin itu, Iya?!"

"Tidak Bu, itu semua tidak benar Bening hanya ingin beristirahat sebentar setelah itu Bening akan menyelesaikan tugas Bening seperti biasa."

"Aku tidak mau tahu. Bangun sekarang dan lakukan tugasmu dengan baik. Awas saja kau jika berani melawan perintahku. Akan ku buat kau sangat menyesal!"

Brakk-

Sandra menendang pintu kamar Bening dengan sangat keras hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring.

Bening pun memaksakan dirinya untuk bangkit dari ranjang walaupun tubuhnya menggigil sakit. Apalagi setelah guyuran air yang ia terima dari sang Ibu tadi, membuat suhu badannya semakin meningkat.

Namun, gadis itu tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah Ibunya. Tertatih Bening melangkah keluar dari kamarnya dengan merayap dan berpegangan tembok karena ia takut terjatuh akibat rasa sakit kepala yang kian menyiksa.

"Cepat, tidak usah berpura-pura sakit seperti itu karena percuma aku tidak akan percaya! Perutku lebih penting dari pada dramamu itu!"

"Iya Bu maaf!"

Bening pun menguatkan hati dan diri. Ia berusaha keras untuk menahan air matanya agar tidak terjatuh. Karena ia tidak ingin membuat Ibunya lebih marah lagi dan semakin menyiksanya.

Berusaha sekuat tenaga menelan sendiri kesakitannya selama ini. Karena sikap Ibunya yang begitu sangat membencinya. Bahkan Bening sendiri pun tidak pernah tahu di mana letak kesalahan-nya.

Dan yang membuat Bening heran adalah amarah dan kebencian Ibunya akan semakin muncul jika melihat wajahnya. Apalagi jika melihat bagian matanya. Bukankah kata orang wajah mereka mirip?

Bening berkali-kali hampir terjatuh karena memaksakan diri saat kondisi fisiknya melemah. 

"Di mana makanan ku pemalas. Apa kau tidak bisa bekerja lebih cepat?!" hardik sang Ibu sembari melemparkan sendok ke arah Bening hingga membuat gadis itu mengaduh kesakitan.

"Aduh!" lirih Bening sembari mengusap pelipisnya karena lemparan sendok tadi.


"Makanya yang cepat. Memanaskan makanan begitu saja lama sekali!"

"Iya Bu maaf," ucap Bening seraya terisak.

"Tidak usah drama dengan menangis seperti itu. Aku jadi semakin muak melihatmu!"

"Maaf Bu."

"Berapa kali pun kau mengucapkan maaf padaku. Kau tidak akan pernah bisa membuatku luluh. Dasar anak pembawa sial! Seharusnya dulu aku tidak pernah melahirkanmu!"

Kebencian sang Ibu begitu nyata Bening rasakan. Walaupun hingga saat ini Bening tidak pernah tahu apa alasannya.

"Maafkan Bening Bu, maaf!"

"Ning, Bening bangun!" Lastri menepuk pipi Bening hingga gadis itu terjaga dari mimpinya.

Bening perlahan mengerjapkan matanya.

"Bu Lastri?!" tanya Bening heran.

"Iya ini Ibu. Kenapa kau tidur di lantai seperti ini, Bening?"

Bening pun mengedarkan pandangannya, ternyata benar ia tertidur di bawah jendela kamarnya. Posisi yang sama seperti beberapa jam yang lalu.

"Maaf Bening ketiduran Bu!"

"Ayo pindah ke atas. Nanti kamu bisa masuk angin jika kelamaan di lantai seperti ini!"

Lastri pun menuntun gadis itu agar segera pindah ke atas ranjang.

"Makasih Bu."

"Sebenarnya kau kenapa Bening?"

"Bening hanya teringat orang tua Bening Bu!" jawab Bening sendu.

"Bisakah kau ceritakan kepada Ibu apa yang sebenarnya terjadi padamu sebelumnya? Tentu jika kau tidak keberatan, maka Ibu akan bersedia mendengarnya."

Ingatan Bening pun kembali pada kejadian beberapa bulan lalu sebelum ia terkurung di rumah besar ini. Hingga mengalirlah cerita dari bibir gadis itu-

Saat itu Bening yang sudah setahun tinggal berdua dengan sang Ibu setelah kepergian Ayah tercintanya dibuat kaget karena malam itu Ibunya pulang membawa lelaki asing yang diakui sebagai suami barunya.

"Apa yang kau lihat? Dia suamiku dan mulai sekarang akan tinggal di rumah ini!"

Pengakuan dari sang Ibu membuat dada Bening bergemuru.

'Apa? Suami Ibu. Jadi Ibu sudah menikah lagi. Tapi kapan?' batinnya tak percaya. 

Ingin bertanya tapi Bening takut membuat kesalahan seperti tadi pagi dan membuat Ibunya semakin murka. Bahkan rasa sakit akibat tamparan Ibunya tadi pagi masih bisa ia rasakan sampai saat ini.

"Sudah jangan bengong saja. Segera tutup pintunya, Bodoh!"

"Iya Bu maaf."

Bening pun melangkah mendekati pintu dan berniat menutupnya. Bening merasa ada yang aneh dengan tatapan mata Ayah tirinya itu saat pandangan mereka tidak sengaja bertemu. Kenapa hatinya menjadi tidak tenang begini? Bening seperti mendapat firasat yang tidak baik. 

Namun, secepatnya Bening mengenyahkan pikiran buruk itu. Bukan kah dulu almarhum Ayahnya selalu mengajarkan agar tidak mudah berprasangka buruk kepada orang lain.

"Ayo Mas kita masuk ke kamar!"

"Iya, ayo!" Pria asing itupun mengikuti langkah Sandra menuju kamarnya, setelah sedikit memberikan senyum kepada Bening.

Tapi bagi Bening senyuman yang diberikan pria asing itu tampak begitu meyeramkan laksana seringai iblis yang ingin menerkam.

"Astaghfirullaahal 'Azhiim."

Karena tidak ingin berpikiran buruk Bening pun secepatnya masuk ke dalam kamarnya.

Gadis itu terlihat membuka laci dan mengambil sebuah foto hitam putih yang sudah tampak usang. Jemari lentiknya mengusap lembut wajah sang Ayah yang ada di dalam foto tersebut.

"Bening kangen Ayah. Semoga Ayah bahagia di sana. Malam ini Ibu pulang bersama suami barunya. Ayah jangan marah ya! Karena jika Ibu bahagia Bening juga ikut bahagia," adunya kepada sang Ayah hingga tak terasa air mata kembali mengalir di pipinya. Bening pun akhirnya terlelap dengan memeluk foto Ayahnya.


*****


Pagi ini Bening sekeluarga sedang menikmati sarapan mereka di meja makan.

"Bu besok Bening izin pergi bekerja di kebun Pak Lurah untuk membantu memanen cabe," ucap Bening di sela makannya.

"Bagus, buat dirimu berguna. Bekerjalah dan carikan aku uang yang banyak!"

"Baik Bu, terima kasih karena sudah diizinkan."

Bening merasa risih dan tidak nyaman karena sedari tadi Edi berusaha untuk terus menggodanya. Edi bahkan berani mengusap kaki Bening dengan menggunakan kakinya di bawah meja.

Kalau bukan karena menghargai sang Ibu. Bening ingin sekali menendang kaki pria kurang ajar itu agar dia tahu diri. 

Bukan itu saja, tatapan nakal seolah ingin menerkam kerap Bening dapati dari mata jelalatan suami baru Ibunya. Tapi Bening harus ekstra menahan kesabarannya demi sang Ibu.

0 Comments